Cerpen: Aku dan Ayah

Alhamdulillah... saya akhirnya bisa merampungkan cerpen pertama saya. Meskipun bahasanya masih berantakan, dan jauh dari kata perfect, tetapi setidaknya saya sudah mencoba. Saya masih belajar dan akan terus belajar. 
Cerpen ini sebenarnya cerpen fiksi, namun saya yakin pasti ada potongan kejadian dalam kehidupan nyata yang alur ceritanya hampir sama dengan cerita ini. Cerita tentang seseorang yang amat menyayangi sosok ayahnya, sekaligus membenci rokok yang membahayakan bagi orang-orang di sekelilingnya. Selamat membaca :)

Mampir baca dongeng yang saya buat yuk! (Dongeng berbahasa inggris, Gisella and The Salt)


PENUHI JANJIMU, AYAH

Sumber foto: pixabay.com

Dadaku sesak. Benar-benar sesak. Tiga bulan lalu, tepatnya di hari ulang tahunku, Ayah tersenyum, memberi kejutan kue ulang tahun lengkap dengan lilin berbentuk angka 12 di tengah-tengahnya. Senyumku sempurna merekah, menghias setiap sudut bibirku. Aku terharu. Ayahku memelukku setelah aku meniup lilin. Ia berbisik padaku. Apa yang kamu minta dari ayah, sayang?
 Aku menatap lamat Ayah yang sedang tersenyum. Mengamati wajah yang semakin senja itu membuatku berpikir sekejap.
Zulfa, teman karibku, pernah bercerita bahwa dua minggu sebelum hari ulang tahunku, ayahnya meninggal. Zulfa bilang, itu semua terjadi karena ayahnya seorang perokok berat. Sudah berulangkali keluarganya menyuruhnya berhenti menghisap puntung berasap itu. Namun sia-sia. Ayah Zulfa tetap tidak mau berhenti. Hingga kejadian naas itu terjadi. Saat ayahnya mengendarai sepeda motor, hendak pergi ke tempat pemancingan, tiba-tiba dadanya terasa sesak dan nyeri. Membuat konsentrasi berkendaranya hilang.
Ayah Zulfa mengalami kecelakaan. Ia langsung dibawa ke rumah sakit oleh orang-orang yang melihatnya. Saat itu Zulfa tengah berada di rumah, hari Minggu. Tubuhnya lunglai ketika mendengar ayahnya kecelakaan. Ia dan keluarganya segera menuju rumah sakit tempat ayahnya di rawat. Dokter bilang, luka kecelakaannya tidak terlalu parah, namun justru paru-paru ayahnyalah yang bermasalah. Selama ini, ayah Zulfa mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Begitu terpukulnya hati Zulfa. Ia menyayangkan kenapa ayahnya harus menjadi perokok berat. Bukankah jelas bahwa rokok sudah menimbulkan banyak korban jiwa? Ayahnya sungguh keras kepala.
Selepas beberapa hari menjalani perawatan intensif, akhirnya ayah Zulfa meninggal dunia. Zulfa merasa terpukul. Ia berulangkali menyayangkan kenapa ayahnya menjadi perokok berat, meski ia tetap merasa kehilangan.
Akulah yang saat itu berusaha menghibur Zulfa saat kesedihan itu muncul menguasai hatinya. Sayang, aku malah merasa cemas saat berusaha menenangkan hati Zulfa. Bagaimana tidak? Ayahku juga seorang perokok berat.
Pagi itu, saat ayah membisikiku tentang apa yang aku inginkan dari Ayah di hari ulang tahunku yang ke-12, saat itulah aku berkata lirih. "Fitri ingin ayah berhenti merokok."
Senyap.
"Fitri sayang ayah, jadi... jadi Fitri ingin ayah berhenti merokok.. Fitri mohon, Yah..." Suaraku sedikit bergetar, teringat kejadian yang menimpa ayah Zulfa dua minggu lalu. Ayah terdiam, menatapku, lantas menggeleng." Ini hidup ayah , Nak."
Permintaanku itu seolah ditolak mentah-mentah oleh ayah. Dari raut wajahnya, ia terlihat sedikit marah. Mungkin juga tersinggung.
"Fitri tidak menginginkan apapun saat ini. Fitri hanya ingin ayah berhenti merokok! Hanya itu Yah... Fitri sayang ayah. Fitri sayang Ibu dan Kakak. Fitri tidak ingin keluarga kita terserang penyakit yang mengerikan akibat rokok. Sungguh... Fitri ingin Ayah berhenti merokok.''
Ayah melepas pelukannya dariku. Menghela napas kasar. "Fitri... Ayah akan memberikan apapun yang kamu minta. Apapun, sayang. Tapi untuk permintaan konyolmu itu... Ayah belum bisa, Sayang. Lagipula, selama ini kamu terlihat baik-baik saja melihat ayahmu ini merokok. Kenapa sekarang kamu bersikeras menyuruh ayah berhenti merokok,hah?''
" Karena Fitri tidak ingin nasib ayah seperti nasib Ayah Zulfa.'' Aku menyahut cepat. Ayah menghela napas sekali lagi. "Apa salahnya merokok, Fitri? Toh yang menanggung akibatnya nanti ayah, kan?'' Suara ayah terdengar berat, nadanya seperti orang yang tidak mau kalah. Aku menelan ludah. Ternyata Ayah juga keras kepala seperti ayah Zulfa.
" Ayah... Mungkin ayah berpikir, apa yang ayah lakukan itu hanya akan berakibat pada diri ayah. Tapi ayah salah besar. Guruku pernah bilang, bahwa yang paling besar terkena dampaknya adalah orang yang menghirup asap rokok, bukan yang merokok. Apa ayah tega melihat keluarga ayah sakit-sakitan kelak?'' Aku memberanikan diri menyanggah pernyataan ayah.
"Lagipula, bukankah untuk membeli rokok berarti ayah mengeluarkan uang yang tidak sedikit? Bayangkan, satu hari ayah menghabiskan lima batang rokok, jika satu batang harganya 1000, satu hari saja ayah sudah menghabiskan 5000. Dalam satu minggu? Ayah bahkan menghabiskan uang 35000. Bagimana dalam sebulan? setahun? bertahun-tahun? Uang itu seharusnya bisa ayah tabung untuk membiayai kebutuhan yang semakin menggunung, bukan? Apa ayah tidak pernah memikirkan itu?? Kenapa ayah egois seperti ini??" Suaraku benar-benar bergetar, hampir serak. Ayah tertegun. Entah apa yang ia pikirkan. Ayah menatapku tak bersuara. Ia nampaknya terdesak. Satu dua detik berjalan sempurna. Ayah membuka mulutnya.
"Ayah akan berhenti merokok selepas hari ulang tahun ayah.'' Kalimat itu yang menjadi penutup perdebatanku dengan ayah. Ia tidak suka berdebat seperti ini. Ia tidak terbiasa dengan keributan hingga memutuskan mengakhiri pembicaraan. Walau bagaimanapun, ayah sudah mengatakannya. Mengatakan janjinya. Aku menghembuskan napas, sedikit lega. Aku memeluk ayah, lantas bersiap memotong kue brownies yang sejak tadi terbengkelai begitu saja.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Hingga saat itu tiba. Saat dimana Ayah harus membuktikan janjinya. Saat dimana umur ayah mencapai 45 tahun. sepanjang hari, aku melihat ayah berusaha membuktikan janjinya. Selama seharian penuh, ayah tidak merokok. Aku yakin, ayah akhirnya berubah. Selama dua hari ke depan pun ayah tetap tidak merokok. Aku mulai tersenyum, semakin yakin. Ayah menepati janjinya.
Namun entah kenapa, di hari ketiga selepas ulang tahunnya, ketika aku pulang sekolah, tiba-tiba aroma pekat menusuk hidung. Aku tahu aroma ini. Aroma yang sangat aku benci sejak kepergian ayah Zulfa. Aroma busuk asap rokok. Darimana sumbernya?
Aku memeriksa semua ruangan. Tidak ada siapun yang merokok, kecuali kakak lelakiku yanh sedang membetulkan senar gitar di kamarnya. Darimana aroma ini?
Saat aku hampir menyerah mencari sumbernya, saat itulah aku teringat satu ruangan yang belum kuperiksa. Gudang.
Benar saja, saat kubuka pintunya, terlihat seseorang duduk santai di atas tumpukan kardus bekas, tengah asyik mengepulkan asap melalui kedua lubang hidungnya. Itu... AYAH! Aku tercekat. Ayah tega membohongiku? Ayah tega.
"AKU BENCI AYAH!!!'' dengan cepat suara lantangku berhasil membuat wajah ayah tergugu. Merasa setengah bersalah, setengah entahlah. Aku benci menatap ekspresi ayah. Ekspresi saat ia mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya. Kebencian itu terbawa hingga berbulan-bulan ke depan. Bahkan hingga sekarang, ayah tetap merokok, membuat kebencianku semakin memuncak.
***
Berbulan-bulan aku menantikan keajaiban itu tiba. Keajaiban yang bisa membuat Ayah mengakuai kesalahannya lantas menghentikan kebiasaannya. Tanpa diduga-duga, keajaiban itu memang terjadi. Namun entah kenapa aku malah mengeluhkan sebelum tahu maksud dari rencana-Nya. Kenapa harus melalui cara yang menyedihkan untuk menyadarkan Ayah?
***
"Apakah anak bapak seorang perokok?'' Suara dokter mengawali percakapan.
" Tidak, Dok. Walaupun saya seorang perokok.'' Jawab ayah, jujur. Dokter menghela napas, prihatin. ''Apa teman-temannya banyak yang merokok?''
"Setahu saya hanya beberapa yang suka merokok. Maaf, Dok. Sebenarnya kenapa dokter menanyakan itu?''
''Bapak... Anak bapak terserang radang tenggorokan parah. Takutnya radang itu berubah menjadi kanker pita suara." Suara dokter terpotong, demi menghela napas sebentar.
"Nah, penyebab utamanya adalah asap rokok. Perlu bapak ketahui, seorang perokok pasif itu lebih besar peluang terkena prnyakit dibanding perokok aktif. Saya rasa, anak Bapak sudah terlalu banyak menghirup gas berbahaya itu. Mungkin di rumah sering, di lingkungan pergaulannya pun sering, anak Bapak sungguh menjadi korban atas hal yang tidak pernah ia lakukan." Suasana di dalam ruangan sempat hening sejenak. Hingga dokter itu menyimpulkan percakapannya. "Semoga Bapak paham dengan apa yang saya sampaikan ini.''
Sementara dari balik pintu, aku tercekat. Kanker pita suara? Kak Ilyas sebentar lagi akan mengikuti kontes band, dan ia adalah vokalisnya. Bagaimana ia akan menyanyi?
Aku menggigit bibir bagian bawah. Khawatir.
Ini semua gara-gara ayah!
Tiga hari setelah mendengar percakapan ayah dengan dokter, rasa-rasanya rasa benciku kepada ayah semakin membumbung tinggi. Lihatlah! Gara-gara Ayah, kakakku satu-satunya itu tergolek tak berdaya dalam ranjang rumah sakit. Benar-benar tidak bisa dimaafkan.
Aku memutuskan mogok bicara dengan ayah, berhari-hari lamanya.
Ayah terlihat menyesal.
Wajahnya berubah kusut dalam kurun satu minggu. Ia merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Kebersamaan dan kehangatan keluarganya.
" Fitri... Ayah minta maaf, Nak. Bicaralah sesuatu pada ayah...'' Tutur ayah suatu ketika. Wajahnya menyiratkan luka yang mendalam. Aku tetap diam.
"Ayah bersalah sudah mengabaikan janji ayah begitu saja. Ayah minta maaf...''
"Demi kesembuhan kakakmu, Ayah akan memperbaiki janji ayah itu Nak.. Beri ayah waktu untuk membiasakannya. Beri ayah waktu." Aku mendongak. Wajah Ayah terlihat sungguh-sungguh. Aku merasa Ayah benar-benar akan memenuhi janjinya. Entah itu kapan waktu pastinya, yang jelas dalam waktu dekat, Ayah akan berubah. Ayah sudah menyadari kebodohannya selama ini. Ayah hendak memperbaiki janji.

Penuhilah janjimu kali ini, Ayah...


Mohon untuk tidak mencuri naskah dengan mengikutsertakannya di perlombaan manapun. Terima Kasih.
Senin, 14 Desember 2015
Astri Sifa Yuniarti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel InsyaAllah Aku Bisa Sekolah - Karya Dul Abdul Rahman

Narrative Text: Gisella and The Salt

Contoh Pidato Bahasa Indonesia sesuai PUEBI