Review Novel InsyaAllah Aku Bisa Sekolah - Karya Dul Abdul Rahman

INSYAALLAH AKU BISA SEKOLAH - DUL ABDUL RAHMAN
 
"Anakku, kebodohan akan mendekatkan seseorang pada kemiskinan. Lalu kemiskinan akan mendekatkan seseorang pada kekafiran.'' - Daeng Marewa (hlm. 23)
 
Dul Abdul Rahman 
 


Sumber: Assifa, 2018 (Buku Perpus SMA)
 
IDENTITAS BUKU

Judul    : InsyaAllah,  Aku Bisa Sekolah
Penulis  : Dul Abdul Rahman
Penerbit : DIVA Press
ISBN     : 978-602-255-808-8
Terbit   : Cetakan Pertama,  Februari 2015
Tebal    : 276 hlm; 14 X 20 cm

SINOPSIS

 

Sampul Depan



Sampul Belakang



"Anakku Samadin, kita harus bersyukur, karena laut masih menyiapkan persediaan makanan buat kita. Berkeluh kesah hanya akan membuat hati dan pikiran resah. Lalu badan menjadi lelah. Lebih baik kita berserah diri kepada Allah SWT." - Daeng Marewa. (hlm. 9) 

... Ia ingin membeli pancing ikan,  tetapi ia salah masuk toko (sehingga ia membeli sebuah kamus bahasa inggris)... 
 
''Ini tetap pancing untukmu,  Nak.  Ini pancing ilmu untukmu,  selalulah memancing di lautan ilmu.'' - Hlm. 92

Menyekolahkan anak bukan sebatas siap biaya. Butuh komitmen orang tua yang setia mendukung pendidikan anaknya.  Tentu tanpa mengesampingkan semangat sang anak dalam belajar dan meraih cita-cita. 

Hidup sebagai anak nelayan miskin tak membuat Samadin surut sekolah. Ayahnya,  Daeng Marewa,  senantiasa mendukungnya menimba ilmu di SMP Negeri 15 Makassar. Daeng Marewa bahkan membujuk rekannya,  Daeng Gassing,  untuk kembali menyekolahkan anaknya. Berbekal nasihat tentang komitmen orang tua dalam pendidikan anak,  ia berhasil membujuk Daeng Gassing mengirim kembali Sapril, anaknya, ke bangku sekolahan. 

Samadin yang satu tahun lebih muda justru menjadi kakak tingkat Sapril. Namun,  Sapril tidak berkecil hati. Kedua pemuda itu justru menjadi kawan dekat. Mereka menyukai gadis yang sama. Seorang gadis yang selalu meraih peringkat satu di kelas Samadin. Fauziyah namanya,  anak Haji Karim Daeng Manaba yang notabene kaya dan disegani warga. Alih-alih bersaing secara sehat dengan Sapril,  Samadin justru mengaku-aku telah menggandeng gadis hitam manis itu lebih dulu. Jadilah Sapril berpindah ke lain hati. 

Samadin tinggal tak jauh dari Sungai Jeneberang  dan Pantai Barombong. Hampir tak pernah alfa ia mendatangi tempat tersebut meski beredar mitos bahwa di pertemuan muara sungai Jeneberang dan Pantai Barombong sangatlah angker. Terdapat sepasang jin penunggu - -Jin tersebut adalah jelmaan turis Belanda yang kapalnya pernah karam di sekitar tempat itu. Samadin dan Sapril memang hidup di tengah-tengah masyarakat yang masih membesar-besarkan mitos. Mulai dari mitos hantu poppo dan parakang yang mendiami rumah kosong depan sekolahan Samadin,  hingga cerita tentang sang pelaut tangguh Bugis bernama Sawerigading yang dikutuk menjadi ikan hiu. 

Samadin dan Sapril bertekad meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Hingga memutuskan untuk menjadikan Sungai Jeneberang dan Pantai Barombong sebagai 'speaking english area'. Sampai-sampai,  masyarakat sekitar menyebut mereka bule Pantai Barombong. 

Tak hanya itu,  mereka juga mendirikan komunitas Save Jeneberang River bersama Ibrahim dan Syukur,  sebagai wujud peduli mereka terhadap kebersihan lingkungan Jeneberang. Keempat pemuda itu menjadi kemerad dekat. Kabar baiknya,  mereka saling bersaing prestasi secara sehat dan mendukung cita-cita satu sama lain. 

Suatu saat mereka berkunjung ke Pulau Kodingareng untuk mengunjungi sepupu Ibrahim yang bernama Rhoma Irama Laut. Dari Rhoma-lah mereka mengenal semboyan ''Anak-Anak Laut,  Tidak Takut Maut!''. Lalu Sapril mengotak-atik semboyan itu menjadi ''Anak-Anak Laut,  Anak Berprestasi!''

Samadin tak dapat menolak takdir. Ayah tercintanya meninggal saat mencari nafkah di tengah lautan. Sebagai anak sulung,  ia bertekad menggantikan sosok ayah menjadi tulang punggung keluarga,  sebab ibunya yang lumpuh tak dapat bekerja. Namun,  ia juga teringat pesan sang ayah agar ia tetap melanjutkan pendidikannya usai lulus SMP.  Suatu hari,  ia bertemu pedagang cilik bernama Samad. Anak itu-- yang merupakan seorang yatim piatu, menjajakan kue roko-roko unti sebelum berangkat sekolah. Melihat semangat hidup Samad,  Samadin termotivasi untuk melakukan hal yang sama, yakni berjualan kue. Bedanya,  ia menjual kue jalakonte. 

Pengumuman kelulusan tiba. Samadin meraih nem tertinggi di sekolahnya. Hanya saja,  impiannya untuk melanjutkan di sekolah pelayaran BP2IP harus ia tunda. Ia bertekad untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja. Beruntungnya,  Haji Karim Daeng Manaba yang merupakan ayah Fauziyah berbaik hati membiayai sekolah Samadin. Dengan semangat dan rasa bahagia yang membuncah,  ia akhirnya tetap bisa bersekolah meski tanpa sosok ayah di sisinya lagi. 

 Salam,

Assifa

 
Magelang,  28 Juni 2018

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narrative Text: Gisella and The Salt

Review Buku Terima Kasih Sudah Mengatakannya (그롷게 말해줘서 고마워 ) | Kim Yu-Jin