Cerpen: Pesawat Kertas

Untuk hati yang sibuk berharap, namun lupa dengan kenyataan hidup.


PESAWAT KERTAS 

(CERPEN G-MAGZ 38 )

Sumber foto: https://pixabay.com 



Khayla terpaku lama menatap langit. Mengamati kumpulan awan sirus yang tampak seperti lembaran kapas yang menggantung di udara nun jauh di atas bumi. Lembaran itu berubah menyerupai pesawat terbang saat ia menatapnya lebih lekat. Lantas, dalam sekejap sebuah ide masuk melalui terowongan pikiran yang sempat kosong beberapa detik lamanya.
Gadis itu beranjak turun dari sadel sepedanya.  Berjalan menjauhi tempat parkir, menuju balkon lantai dua gedung induk. Sesampai di tempat itu, Khayla segera mengeluarkan secarik kertas biru dan pena. Ditulisnya beberapa baris kalimat. Tangannya lantas gesit melipat kertas itu menyerupai pesawat terbang, persis seperti yang dilihatnya beberapa menit lalu.
"Saatnya kau berlabuh pada tujuanmu..." gadis itu berbisik lembut sebelum akhirnya menerbangkan pesawat kertasnya ke udara, tepatnya ke arah pocin --sebuah tempat sederhana di sudut sekolah yang dikelilingi pepohonan rindang. Ada rasa puas yang tersemai di hatinya ketika angin telah menerbangkannya. Meski kenyataannya, pesawat itu terbang oleng dan menyangkut di pepohonan. Bahkan di lain kesempatan, pesawat-pesawat itu menukik tajam ke arah selokan. Tak jarang pula hanya menjadi remasan di tangan petugas kebersihan. Ujung-ujungnya, pendaratan terakhirnya hanyalah di tong sampah.
Namun Khayla tak peduli. Baginya, menerbangkan pesawat kertas sama halnya membisikkan kata-kata pada orang yang ia kagumi.  Ada harap di hatinya, bahwa suatu saat nanti, pesawatnya akan sampai pada orang yang ia tuju.
***
Selama dua tahun lebih, Khayla menulis kalimat yang sama di secarik kertas, lalu menerbangkannya setiap Senin pagi. Tak ada perkembangan yang berarti. Pesawat kertas itu tak satu pun membawa perubahan bagi kehidupan SMA nya. Gadis itu tetaplah menjadi seorang siswi yang tenggelam di tengah ketenaran siswi lainnya.
Jika kau bertanya apakah pesawatnya mendapat balasan? Tentu jawabannya tidak. Di sekolah, tak pernah ada yang mempedulikannya selain Roosanti dan guru Bahasa Indonesia.
Maka Khayla hanya bisa diam menunggu jawaban itu tiba.
***
Suatu ketika, Roosanti merasa heran pada Khayla. Sahabatnya itu masih tetap duduk di sudut kelas meski jam dinding menunjuk pukul 15.30 WIB. Tangannya memutar-mutarkan pena. Di atas mejanya tergeletak selembar kertas biru muda. Sorot mata gadis itu tampak redup. Seredup awan kelabu yang sejak tadi menyelubungi jantung kota.
"Khay, tak pulang kau? Ini hampir jam empat. Mendung pula." tanya Roosanti menyelidik. Membuyarkan lamunan Khayla, hingga gadis itu reflek menjatuhkan pena ke lantai.
''Astaga! Kau sedang punya masalah? Katakan, Khay!" Roosanti berhasil mensejajari bangku Khayla. Namun Khayla tak bergeming. Dalam hitungan detik, gemericik hujan berpadu gelegar guntur terdengar mengambang di luar ruangan.
"Roos, memangnya salah ya kalau suka sama seseorang?" mulut Khayla yang sejak tadi terkunci, tiba-tiba membuka pertanyaan yang justru membuat Roosanti terbelalak. Tak biasanya Khayla membicarakan soal perasaan padanya. "Memangnya kenapa, Khay? Kau suka sama orang?? Siapa??" bukannya menjawab, Roosanti malah melontarkan pertanyaan beruntun pada Khayla.
"Sudah sejak kelas sepuluh aku mengaguminya, Roos." balas Khayla lirih. Roosanti semakin membulatkan mata. "Kenapa baru sekarang kau cerita? Siapa dia? Bagaimana kau bisa menyukainya??'' lagi-lagi gadis itu melempar pertanyaan beruntun. Khayla hanya tersenyum tanggung menanggapinya.
"Aku juga tidak tahu, Roos. Perasaan itu muncul begitu saja, saat orang itu membantuku mengeluarkan sepeda dari tempat parkir dua tahun lalu." gadis itu memulai ceritanya, disambut antusiasme tinggi dari Roosanti.
 Khayla terus melontarkan kalimat demi kalimat, selaras dengan hujan yang semakin lebat. Akhirnya, sampailah ia bercerita tentang pesawat kertas, juga sebait kalimat yang tak kunjung mendapat balasan.
Roosanti tertegun. Menatap Khayla seolah menatap orang asing. "Parah kau! Beritahu aku siapa orangnya! Biar kupaksa dia membaca surat-suratmu itu!!" mulutnya yang sejak tadi menganga, berubah menjadi kalimat dukungan penuh anarkisme.
''Jangan lakukan itu! Aku yakin, suatu saat pesawatku pasti akan mendarat padanya." sanggah Khayla. Roosanti ber-yaa kecewa. Namun ia tetap menghargai keputusan Khayla. "Kalau begitu, aku hanya ingin tahu siapa dia?"
Khayla menunduk saat akhirnya harus mengakhiri pembicaraan dengan bersusah payah menyebutkan namanya. "Mukhlimas."
Desau angin mengoyak telinga Roosanti.
***
''Limas!! Kau pulang kapan?"
Seorang remaja laki-laki menghampiri Mukhlimas di depan pintu gedung utama sambil membetulkan posisi jaketnya.
"Mungkin lima menit lagi, Dit, nunggu hujannya reda. Kau pulang saja dulu." Limas menanggapi seadanya. Lantas beralih menatap rinai hujan di hadapannya yang semakin melebat. Radit  hanya mengangguk. Sejurus kemudian merentangkan payungnya dan berjalan menuju tempat parkir. Meninggalkan Limas yang tengah berdiri dengan perasaan gelisah.
"Bahkan Radit sudah pulang. Masak iya dia belum pulang-pulang?" desisnya saat melihat Radit menderum motornya keluar gerbang sekolah. Ditiliknya jam yang melingkar di tangan kirinya. Pukul 16.00 WIB.
"Apa aku terlalu gelisah hingga tak sadar bahwa dia sudah keluar sejak tadi ya? Ah!'' desisnya untuk kesekian kalinya.
Ia menyandarkan tubuhnya ke tiang bangunan, lantas merogoh saku jasnya. Sebuah lipatan kertas berwarna biru dengan cepat di bukanya.
__________________________________________________________________________________
Ada perasaan tak terdefinisikan saat aku menulis sebait kalimat ini. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu. Atau bila kata ''kebetulan'' berpihak padaku, mungkin kau juga akan mengerti perasaan itu. Kau akan tahu bila angin mendaratkan kertas ini padamu . Bahwa aku berharap, ada sebongkah perasaan yang sama saat kau membacanya -Anonymous.
__________________________________________________________________________________
Mukhlimas terpaku lama mengamati kertas misterius yang bahkan sudah lecek itu. Matanya tak berkedip. Seolah ada magnet antara kedua bola matanya dengan tulisan rapi yang terpampang di atasnya. Lalu dalam sekejap terowongan memorinya berbalik ke masa lalu. Tepat dua tahun dari hari ini. Ketika dirinya tak sengaja menemukan secarik kertas berbentuk pesawat terbang mendarat di samping tempat duduknya di pocin bawah, sebuah tempat favoritnya semenjak kelas 10.
Secarik kertas yang tengah digenggamnya memunculkan inspirasi baginya untuk melakukan hal yang sama. Bedanya, ia menuliskan kalimat di dalamnya untuk Roosanti, seorang teman yang membuatnya bertahan di gugusan kepengurusan OSIS.
***
Hati Roosanti terkoyak sudah. Baru tadi pagi ia memperoleh pesan dari Mukhlimas. Dan hari ini, sahabatnya bercerita mengenai rasa sukanya pada pemuda yang jelas-jelas menaruh hati padanya. Kepalanya pusing tak terkira. Ia tak mau senyuman Khayla berubah redup saat harus mendengar kenyataan bahwa Mukhlimas menyukainya. Maka sore itu, di tengah hujan yang mengguyur, Roosanti memilih mengakhiri pembicaraan dan mengajak Khayla pulang.
Tiada angin yang berkabar, semua kebetulan ini terasa amat pilu disaksikan. Bagaimana tidak? Mukhlimas berdiri di ujung pintu saat Khayla dan Roosanti menuruni anak tangga.
Mukhlimas tentu saja mengetahui keberadaan mereka berdua, hingga memutuskan untuk mendekat. Tangan Khayla gemetar karena gugup. Ia mencengkeram kuat-kuat lengan sahabatnya. Sementara pandangan Roosanti mendadak nanar.
"Roosanti." ucap Mukhlimas dengan seulas senyum.
Khayla tertegun. Getaran di tangannya berubah menjadi sembilu yang menggores nadinya.
Kumohon jangan di hadapan Khayla.
Pandangan Roosanti semakin mengabur.
"Kau tidak membalas pesanku, kenapa?" Mukhlimas melesatkan pertanyaan tanpa tahu ada satu hati yang mulai tersakiti di sana.
"Tak masalah. Tetapi kumohon, terimalah ini. Aku tak bisa menerbangkannya, aku hanya bisa mendaratkannya langsung kepadamu." Mukhlimas menyerahkan sebuah pesawat kertas berwarna biru pada Roosanti.
Hati Khayla bergejolak tak tentu arah. Kakinya limbung. Napasnya tercekat. Bibirnya mendadak pucat.
Ya Tuhan... Itu caraku menyampaikan pesan hatiku padanya, dan kini dia melakukan hal sama kepada orang lain, kepada sahabatku sendiri...
Bulir air mengambang di pelupuk matanya.
 ''Roos, aku harus pulang sekarang." Gadis itu berlalu menjauhi anak tangga sebelum Roosanti sempat menjawab. Menjauhi sebuah kenyataan yang amat menyayat hatinya. Untuk pertama kalinya ia jatuh hati, dan untuk pertama kalinya pula ia sakit hati.
Bersama derai tangis, Khayla mengayuh sepedanya menerobos hujan lebat yang mengguyur gang Cepaka. Khayla resmi berhenti dari misinya.
.
.
Magelang, Oktober 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel InsyaAllah Aku Bisa Sekolah - Karya Dul Abdul Rahman

Narrative Text: Gisella and The Salt

Contoh Pidato Bahasa Indonesia sesuai PUEBI