42 Tahun Berjualan Es Dung-Dung, Selalu Optimis dan Tidak Pernah Mengeluh

Pak Kumis, Penjual Es Dung-Dung Keliling yang Selalu Optimis

Sumber foto: Assifa, 2020

Pukul satu siang. Udara pengap, panas matahari terik menggantang. Bermodalkan gerobak dorong roda dua dan sebuah payung  yang menjadi peneduh selama perjalanan, tubuh renta Pak Kumis sigap melewati gang-gang perkampungan Terban. Dari kejauhan, terdengar bunyi khas “dung-dung” dari bonang yang ditabuh. Mengundang saya untuk mendekat, lebih tepatnya mengejar. Seperti keajaiban rasanya, beberapa jam sebelumnya, saya tengah menggumam betapa saya ingin bertemu penjual es dung-dung yang lima bulan lalu pernah bersua. Tuhan berbaik hati mempertemukan saya kembali dengannya. Tak ingin melewatkan kesempatan tentunya, saya segera memesan es dung-dung porsi kecil seharga Rp3000,00 sambil berbincang-bincang dengan beliau.

      
Pak Kumis, begitu sapaan akrabnya, meskipun sekarang beliau tidak memiliki kumis. Lelaki paruh baya bernama asli Suroso tersebut adalah sosok yang tangguh dan selalu optimis. Bagaimana tidak? Di usianya yang sudah memasuki kepala enam, dan kulit keriput mulai tampak di wajah serta tangan,  beliau tidak malas dan tetap berjualan dengan berjalan kaki untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pak Kumis merupakan pendatang dari Klaten, Jawa Tengah. Seperti pepatah, ada gula ada semut, maka begitulah kehidupan Pak Kumis di Jogja, yakni untuk “menjemput rezeki” istilahnya. Selama di Jogja, Pak Kumis tinggal di rumah temannya yang berada di daerah Kricak. Setiap sepuluh hari sekali, beliau akan kembali ke Klaten untuk menemui keluarganya. Di Klaten, ia tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Dahulu, istri beliau bekerja sebagai pengrajin batik lurik. Namun, semenjak paru-paru bengkak menyerang kesehatan tubuhnya, istri Pak Kumis terpaksa harus berhenti bekerja dan harus menjalani perawatan intensif selama tujuh bulan. Hal inilah yang membuat Pak Kumis terus memacu diri membanting tulang berjualan untuk tambahan biaya berobat sang istri.

Di samping itu, Beliau juga memiliki seorang anak yang sekarang sudah bekerja sebagai perawat di Jakarta. Menurut ujarnya, anak beliau sudah melarangnya berjualan dan menyuruhnya beristirahat saja di rumah sambil merawat sang istri yang sedang dalam tahap pemulihan. Namun, beliau menolak. Kata beliau, menganggur di rumah hanya akan membuat lelah, pun tubuh rentanya makin lemah. Lain jika ia bekerja, tubuhnya merasa tetap sehat meskipun usia makin beranjak senja.

Sejak tahun 1978, Pak Kumis giat berjualan es dung-dung, baik di Jogja maupun di Klaten. Artinya, sudah hampir 42 tahun Pak Kumis setia melayani pembeli dengan sabar dan ikhlas. Gerobak dorong kecil dilengkapi dengan etalase untuk meletakkan gelas plastik, roti, dan mutiara serta stainless es krim menjadi teman setianya. Setiap hari, Pak Kumis bangun pukul tiga dini hari untuk mempersiapkan bahan-bahan jualan, kemudian membuat es krim hingga pukul enam pagi. Pak Kumis selalu mengenakan pakaian rapi, seperti siang itu, ia mengenakan kemeja ungu panjang, celana kain dengan sabuk hitam melingkar, dan tak lupa topi bundar yang selalu melekat di kepalanya. Saat jam dinding menunjuk pukul delapan, Pak Kumis siap meluncurkan gerobaknya dan berjalan melewati perkampungan serta trotoar jalan.

Di hari-hari sekolah, Pak Kumis tak pernah absen menyambangi SMP Negeri 8 Yogyakarta, SMP Negeri 6 yogyakarta, SMA Negeri 6 Yogyakarta, SD Percobaan 1, SD Pasiraman, dan sekolah-sekolah di sekitarnya. Beliau tak putus asa dan terus menjajakan dagangannya hingga matahari menjelang pulang ke peraduan. Berkilo-kilometer jarak ia tempuh agar dagangannya laris terjual. Di tengah maraknya produk minuman ringan dan es krim modern yang marak dijual di swalayan, Pak Kumis tetap optimis es krim dung-dungnya tidak kalah bersaing dengan produk-produk tersebut. Ia yakin, es krimnya tersebut pasti memiliki tempat di hati pembeli setianya. Pak Kumis mengaku, dalam sehari beliau dapat mengumpulkan keuntungan seratus hingga dua ratus ribu rupiah. Sebagian uang tersebut beliau gunakan untuk modal jualan hari selanjutnya, sebagian lagi beliau simpan untuk kebutuhan hidup keluarganya. Pak Kumis, dengan wajah dan senyum teduhnya, tak pernah mengeluh dengan jalan hidup yang ia tempuh. Berpuluh-puluh tahun jualan es dung-dung menjadi nikmat tersendiri yang menurutnya harus beliau syukuri.


Salam,
 
Assifa
Yogyakarta, 17 Maret 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel InsyaAllah Aku Bisa Sekolah - Karya Dul Abdul Rahman

Narrative Text: Gisella and The Salt

Contoh Pidato Bahasa Indonesia sesuai PUEBI