Review Buku Garis Waktu Karya Fiersa Besari

GARIS WAKTU - FIERSA BESARI 

 

 "Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus." 

- Fiersa Besari, Garis Waktu

 


Sumber: Assifa, 2022 (Buku Adik)
 

IDENTITAS BUKU

Judul Buku          :  Garis Waktu
                    :  Fiersa Besari
Penerbit            :  Media Kita
Tahun Terbit        :  2016
Edisi               :  Cetakan Ke-32, 2021
ISBN                :  978-979-794-525-1

SINOPSIS & REVIEW

Buku  ini mengisahkan perjalanan (dan perjuangan) seseorang dalam menghapus luka. Jatuh-bangun dalam mengejar cinta, luka-lebam mempertahankan hubungan, hingga mati-matian menuntut hati untuk ikhlas merelakan. Berawal dari jatuh hati pada pandangan mata, menjalarkan segumpal perasaan yang melekat kuat dalam dada. Di awal perjumpaan, ia hanya bisa menatapnya diam-diam sambil berharap suatu saat nanti, rasa yang mekar itu dapat ia lihat. Betapa tegar dirinya menjadi sandaran luka dan cerita, di saat hatinya sendiri juga terluka. Baginya, melihat orang yang dicintainya tersakiti oleh takdir perpisahan jauh lebih menyakitkan dibandingkan perasaannya sendiri yang dilanda perih berkepanjangan akibat rasa yang terabaikan.
 
Betapa bungahnya ia saat lambat laun gadis yang dicintainya mulai menyadari ketulusannya. Ia menyadari perasaan terpendam itu sambil memberikan kesempatan untuk menjalin sebuah hubungan di tengah perbedaan. Takdir memang tidak bisa ditebak. Ia harus merelakan menjaga jarak  demi mengejar impiannya. Lambat, tapi pasti. Komunikasi makin renggang dan kabar tidak lagi menjadi prioritas di antara jarak yang membentang, meskipun ada janji di sela-selanya. Saat ia kembali, tak ada temu yang seintim dulu. Perubahan menjadi kabut pekat yang mengungkungnya di balik sayat-sayat sembilu. 
 
Gadis itu sudah menemukan sandaran baru. Ia hancur, sehancur-hancurnya. Tak ada lagi sua dan cerita. Kepergian sang ayah menjadikan sayatan luka lebih dalam dan lebar menganga. Ia berjuang mati-matian menghilangkan rasa, meskipun terasa sulit. Ia alihkan dunianya pada mimpi-mimpinya dan sahabat-sahabatnya yang merengkuhnya saat terjatuh hingga lebam. Saat ia dipatahkan kenyataan, kerinduan menyeruak dalam diam. Tak terkatakan, tak tersampaikan. Di antara keheningan ego masing-masing, rindu itu tumbuh menjadi seonggok kenangan pahit. Lalu, sebuah undangan bertuliskan nama gadis itu bersanding dengan nama orang lain, sadis mengetuk pintu rumahnya.  Ia datang dengan sisa-sisa ketegaran. Perasaan yangg dulu tidak mati, hanya bermetamorfosis menjadi lebih indah dalam helaan kerelaan. Ia sebut itu sebuah fase mendewasa. Ia dan gadis itu sama-sama telah melalui fase kehidupan yang lebih matang dengan pengalaman pahit tertinggal di belakang.

Diksi puitis dan menusuk sukses menyajikan kisah kasmaran dalam buku Garis Waktu menjadi tidak lebay. Kisah yang dipaparkan menyisipkan pengajaran soal cinta dan merelakan. Soal takdir dan perasaan. Juga soal belajar mengikhlaskan. Sebagaimana fitrah manusia untuk memiliki perasaan cinta, Fiersa Besari memberikan pemahaman lain tentang makna cinta.

Cinta bukan melepas, tapi merelakan.
Bukan memaksa, tapi memperjuangkan.
Bukan menyerah, tapi mengikhlas.
Bukan merantai, tapi memberi sayap

- Hlm. 207
 
Dalam perjalanan mencintai seseorang, tidak ada satu pun manusia yang mengetahui ke arah mana hati akan berlabuh. Setiap debar jantung dan bungah kasmaran selalu mengalir bersama dengan alur takdir. Dipertemukan dengannya yang menaruh hati pada kita, pun sebaliknnya, adalah anugerah, dengan konsekuensi akan ada gejolak perasaan lain yang mengiringinya: seperti halnya perasaan kecewa.

"Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus." - Hlm. 61

Fiersa Besari tidak hanya memfokuskan cerita pada kisah cinta pada lawan jenis saja. Ia juga secara rasional menuliskan bahwa di samping mabuk cinta, ada cita-cita yang menjadi sasaran untuk dikejar dan dipertahankan dalam hidup. Tentang sukses yang menjadi buah manis dari proses pengejaran itu adalah bagian lain dari ujian: bahwa segala sesuatu yang tercapai tidak pernah betul-betul tercapai sebelum memahami konsep rendah hati.

Sesuatu yang membuatku hidup jauh sebelum kedatanganmu adalah cita-cita. Ia bagai pelangi yang ingin kugapai, meski terasa muskil. Jika aku berhasil, aku akan punya cerita manis untuk dikenang. Jika aku gagal, aku akan bangun di suatu pagi dan berkata, "Setidaknya aku sudah mencoba." - Hlm. 106

Sesungguhnya kesuksesan adalah ujian: kita tidak pernah betul-betul menang sebelum mengerti bagaimana cara merendahkan hati. - Hlm. 119
 
Akhir kisah yang menyajikan perpisahan, Fiersa tetap memberikan pemahaman tentang merelakan. Tentang bagaimana memilih untuk mengakhiri suatu hal dan menghargai kenangannya. Belajar dari kisah-kisah yang dialami untuk tidak menjadikannya keluh kesah berkepanjangan dan mempercayai bahwa setiap orang yang hadir dalam hidup kita, entah memberikan senyum atau luka, merekalah yang telah membentuk kita di masa sekarang.

"Beberapa hal memang lebih baik direlakan untuk berakhir dan dihargai kenangannya, dari pada dipaksa untuk lanjut, tetapi berjalan menuju kehancuran yang lebih besar."  - Hlm. 165

"Tuhan hanya memasukkan seseorang ke dalam hidup kita agar kita belajar, bukan agar kita mengutuk."  - Hlm. 175
 
Pada akhirnya, manusia tetaplah manusia. Setangguh apapun menghadapi luka, sah-sah saja untuk mengekspresikannya dengan air mata. Tak peduli laki-laki atau perempuan. Ketika sudah terlalu sesak isi hati, menangis tidak akan membuatmu dihukum dan dieksekusi.
 
"Bolehkah sehari ini saja aku menangis?" - Hlm. 186

"Seseorang tidak pernah benar-benar pergi selama kita masih menyimpannya di dalam hati."
- Hlm. 186
 
 
Salam, 
 
Assifa




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Novel InsyaAllah Aku Bisa Sekolah - Karya Dul Abdul Rahman

Narrative Text: Gisella and The Salt

Contoh Pidato Bahasa Indonesia sesuai PUEBI